HIJRAH DALAM TAKDIR ALLAH

 

Hijrah Dalam Takdir Allah

Oleh: Zulirfan S.Pd.,M.Pd

Jodoh, Rizki, Maut merupakan rahasia Allah SWT, Sang Pencipta Alam beserta isinya. Takdir baik dan buruk itu telah menjadi ketetapan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Tidak ada satupun manusia dimuka bumi ini yang mampu memprediksi ataupun menentukan  jodoh, rizki dan mautnya sebelumnya. Tidak seorang pun penduduk bumi mengetahui  kelak takdirnya baik atau buruk. 

Kapan takdir seorang manusia itu  ditetapkan? Ketika roh ditiupkan ke tubuhnya saat masih berada dalam kandungan maka sejak itulah ditentukan takdir yang akan diterimanya kelak.  Jodohnya siapa, rizkinya bagaimana dan akhir hayatnya seperti apa. Baik atau buruk semua itu telah tercatat  olehNya. Tak satupun yang terlewatkan bahkan tertukar.

Dalam contoh ajal/maut misalnya. Sedikitpun manusia tidak mengetahui kapan ajalnya tiba dan apa penyebabnya. Ada yang menjemput ajalnya karena sakit, kecelakaan, tiba-tiba, atau bahkan karena peristiwa bencana alam seperti banjir bandang, gempa bumi, tsunami,  likuifaksi dan lain-lain.

Sama halnya yang menimpa keluarga saya dan ribuan orang lainnya yang kehilangan sanak saudaranya karena peristiwa bencana alam yang teramat dasyat. Gempa bumi dengan kekuatan 7,4 skala richter yang kemudian menyebabkan, tsunami, dan likuifaksi yang terjadi pada tanggal 28 September 2018 silam di bumi Tadulako tercinta. Peristiwa yang telah meluluh lantakkan sebagian besar wilayah di Kota Palu, Sigi, Donggala dan sebagian wilayah Parigi kabupaten Parimo propinsi Sulawesi Tengah serta telah merenggut ribuan nyawa.

Doc:  inet.detik.com

 Yaa...siapa sih yang tidak mengetahui bencana besar yang terjadi di Palu dan 3 wilayah lainnya di Sulawesi Tengah. Bencana dengan 3 peristiwa sekaligus yang mungkin baru tercatat pertama kali terjadi di dunia. Bencana yang kemudian mengundang empati dan kepedulian pemerintah dan masyarakat Indonesia bahkan dunia secara serentak membantu proses evakuasi para korban bencana baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Donasi yang terus berdatangan dalam bentuk sembako, pakaian, uang sangat membantu penyintas bencana ketika itu. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga tentu kepada semua pihak yang telah membantu saat itu.

Awal kisah saya

Jum’at 28 September 2018. Dipagi itu langit tampak cerah sedikitpun tidak ada tanda-tanda bahwa petangnya akan terjadi gempa bumi yang sangat dasyat yang menyebabkan tsunami dan likuifaksi. Seperti biasa pagi itu saya berangkat ke sekolah untuk melaksanakan tugas mengajar. Jadwal pembelajaran hari jum’at berakhir pukul 11. 25 Wita. Guru-guru sudah kembali ke rumah masing-masing kecuali saya dan salah seorang teman saya yang masih berada di sekolah. Saya memang masih bertahan di sekolah ketika itu  karena ada laporan yang harus saya selesaikan berkaitan dengan sarana prasarana sekolah. Yaa... kebetulan saya mendapat tugas tambahan sebagai wakil kepala sekolah bidang sarana prasarana.

Usai sholat dhuhur saya melanjutkan pekerjaan saya. Sementara asyik menyelesaikan laporan tiba-tiba terasa goncangan yang cukup kuat. Saya berteriak ‘Astagfirullah..gempa...gempa...’. Saya dan teman pun berlari keluar menjauh dari ruangan untuk menghindari musibah terluka atau semacamnya. Gempa yang kemudian kami ketahui berdasarkan informasi dari BMKG berkekuatan 5,9 skala richter terjadi pada sekitar pukul 15.00 Wita atau sekitar  jam 3 sore waktu Indonesia bagian tengah. Sore itu memang tampak agak mendung dan berangin. Saya kemudian memutuskan pulang ke rumah.

Setiba di rumah saya dapati kedua anak saya sudah berada di rumah. Biasanya kedua anak saya pulangnya sekitar jam lima atau jam enam petang karena mereka mengikuti kegiatan ekskul yang cukup padat di sekolah. Anak sulung saya katanya kurang sehat dan si bungsu tidak ada kegiatan ekskulnya sore itu makanya semua cepat pulang. Allah SWT seolah telah mengisyaratkan agar kami berkumpul bersama saat terjadinya gempa bumi.

Menjelang masuk waktu sholat magrib, kira-kira pukul 5.55 wita saya menanak nasi. Alunan  ayat  suci al’ quran terdengar jelas dari pengeras suara masjid sebelum adzan magrib berkumandang. Saya mengingatkan kedua anak saya untuk mengambil air wudhu terlebih dahulu sambil menunggu saya menaikkan nasi ke dalam belanga kukusan. Baru saja saya selesai mengingatkan mereka berwudhu, tiba-tiba suara gemuruh terdengar disertai goncangan yang luar biasa dasyat dan belum pernah saya rasakan sebelumnya. Suara barang pecah belah terdengar berjatuhan, dispenser terpelanting ke lantai bersama galonnya. Rumah terlihat bergerak ke kiri dan kekanan kemudian bergetar naik turun.

Saya berteriak sekencang-kenjangnya menyebut nama Allah dan beristigfar sambil memanggil kedua anak saya untuk keluar dari dalam kamarnya. Kami bertemu di ruang tengah dan kemudian berlari bersama menuju pintu keluar. Kami sempat bertabrakan satu sama lain karena goncangan dasyat tersebut. Setiba di depan pintu kami semakin panik karena ternyata pintunya terkunci. Tangan anak saya Intan bergetar mencoba membuka pintu, saya berteriak lagi...’ ayo Ntan!!! cepattt buka kunci pintunya. Iya mama ini saya coba buka tapi susah’. Ya Allah...ampuni kami, lindungi kami, mudahkan kami untuk keluar ya Allah...astaffirullah al adzim. Saya dan kedua anak saya terus beristigfar, bertasbih, bertahmid dan  bertakbir sambil menangis karena ketakutan.

Akhirnya atas izin Allah SWT pintu rumah terbuka. Kami pun berlari bersama keluar. Baru sampai di teras rumah saya melihat tiga motor yang terparkir digarasi sudah terjatuh. Saya dan anak-anak berlari menuju pintu pagar. Ternyata terkunci pula. Dalam kepanikan yang teramat sangat, bingung bagaimana caranya untuk bisa keluar tiba-tiba dinding pagar samping rumah rubuh. Alhamdulillah...akhirnya kami menyelamatkan diri dengan melompat keluar pagar samping.

Di depan jalan komplek perumahan, para tetangga sudah berkumpul sambil menenangkan keluarganya masing-masing. Saya dan kedua putriku berpelukan sangat erat. Kedua putriku menangis sangat histeris. Putri bungsuku kemudian berucap ‘ maa...maafkan saya...maafkan semua kesalahan saya, dosa saya sama mama... ‘. Dengan lembut saya terus memeluk kedua putriku dan berkata pada bungsuku ‘Iya nak...mama sayang kalian mama maafkan kalian... ayo nak terus ucapkan Astagfirullah Al adzim, Subhanallah Walhamdulillah Walaa ilaaha Illallah Wallahu Akbar’.

Pikiran saya kemudian teralih ke suami saya. ‘Papa...papa...papamu nak... dimana sekarang kenapa belum pulang. Yaa... Allah lindungilah suami hamba. Selamatkan ayah dari kedua putriku dari gempa ini yaa Rabb!!!. Saat kejadian gempa dasyat tersebut suami saya masih berada di kantornya. Memang sehari-harinya jam pulang kantor beliau menjelang magrib atau usai sholat magrib. Maklum pekerjaan beliau sebagai petugas kepolisian syarat dengan kesibukan.

Suasana sesaat setelah gempa dasyat saat itu terasa sangat berbeda. Suara ayam, anjing, kucing dan hewan lainnya bagaikan hilang ditelan bumi. Semua hening, angin berhembus kencang, langit pun tampak gelap kemerahan. Rasanya seperti sudah mau kiamat. Allah SWT telah memberikan ujian kepada hamba-hambaNya yang Ia kehendaki. Entahlah apakah peristiwa ini merupakan bentuk ujian atau azab yang diberikan oleh Allah SWT kepada hambanya yang banyak membuat kedzoliman di muka bumi ini. Wallahu a’lam bish-shawab!.

Malam pun tiba Suasana gelap gulita tanpa cahaya lampu. Dalam suasana kegelapan kami melewatinya dengan guncangan gempa susulan yang terus menerus datang. Hati saya semakin kalut, memikirkan suami yang belum kembali ke rumah dan belum saya ketahui keberadaannya. Suara motor sesekali terdengar melintas diarea komplek perumahan Polda tempat kami tinggal. Berharap bahwa itu adalah suami yang datang. Jaringan listrik padam, hp lowbat tidak bisa menghubungi suami dan keluarga lainnya semakin menambah suasana hati sedih.

Terlebih ketika Pak Made tetangga depan rumah datang dengan kondisi basah kuyup. Beliau  mengatakan bahwa air laut naik. Tsunami di pantai Talise katanya dan banyak korban terseret gelombang. Beliau juga seorang polisi yang saat kejadian berada di pantai Talise karena sedang melakukan pengamanan di acara festival Palu Nomoni. Hati saya pun semakin gundah gulana. Berbagai doa saya panjatkan agar suami tetap dalam lindungan-Nya, selamat dari musibah gempa bumi maupun tsunami.

Doc: News.detik.com

Selang beberapa saat kemudian sekitar pukul delapan lewat, terdengar suara motor melintas dan bergerak ke arah kami. Suara motornya sangat saya kenali. Benar saja...dalam keremangan cahaya lampu motor tersebut saya melihat sosok tinggi tegap turun dari motor, menghampiri dan memanggil kami. ‘ Ma.., Dani.., Intan. Allahu Akbar... Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamiin... sontak saya mengucapkan  syukur kepada Allah SWT atas perlindunganNya kepada suami saya. Yang dinanti dan diharap telah kembali dengan selamat. Kami pun saling berpelukan erat seperti tele tabis dengan diselimuti suasana haru karena bisa berkumpul bersama.

Malam itu bersama tetangga dekat rumah, kami menggelar tikar juga menyiapkan selimut seadanya sebagai pengalas duduk ataupun sekedar merebahkan tubuh untuk menghilangkan sedikit rasa kantuk yang datang. Namun kami tidak bisa tidur karena goncangan gempa susulannya masih terus terasa. Suara gemuruh dalam tanah terasa seperti kita sedang memblender sesuatu. Salah satu tetangga saya sibuk mengobati kepala mertuanya yang terluka akibat tertindis lemari yang ada dikamarnya. Akhirnya malam itu kami habiskan dengan berbagi cerita dan saling menguatkan satu sama lain.

Keesokkan paginya kami kembali ke rumah masing-masing untuk melihat kondisi rumah sekaligus mengambil perlengkapan tidur maupun bahan makanan yang bisa di masak untuk sarapan pagi maupun untuk makan siang dan malam. Alhamdulillah beruntung stok makanan kami saat itu cukup untuk 3 sampai 4 hari kedepannya. Kondisi rumah kami pun tidak mengkhawatirkan hanya tergolong rusak ringan saja  namun kami belum berani bahkan tidak ingin tidur dalam rumah. Goncangan yang setiap menit kami rasakan mulai dari kekuatan kecil bahkan sedang masih terus terjadi. Saya dan kedua putriku menyiapkan sarapan pagi seadanya nasi dan telur ceplok yang saya masak di teras depan rumah.

Belum selesai menyiapkan sarapan, tiba-tiba kakak laki-laki saya datang ke rumah. Beliau menginformasikan bahwa Kelurahan  Petobo (kampung petobo) hilang. Kakak perempuan tertua dan anggota keluarganya yang tinggal di Petobo juga belum diketahui keberadaannya. Saya bingung dan bertanya. “maksudnya hilang bagaimana? Saya tidak mengerti, kataku”. 

Kakak laki-laki saya menjelaskan kembali bahwa kampung Petobo memang sudah tidak ada lagi karena terbawa lumpur (likuifaksi), rumah semua terseret dan bahkan ditelan bumi beserta penghuninya. Yang tersisa hanya beberapa rumah saja yang tidak dilewati lumpur dan orang-orang yang sempat menyelamatkan diri dari dasyatnya seretan lumpur tersebut. Kita harus ikhlas menerima apapun nanti yang terjadi dengan saudara kita. Demikian kata kakak saya.

Doc: Republika

 “Astagfirullah al adzim...apa? pekikku”  Yaa Allah.... baru saja musibah gempa bumi dan tsunami yang dirasakan kini saya pun mendengar kalau musibah lumpur berjalan (likuifaksi) pun  terjadi di Petobo. Saat itu badan saya lemas tak bertenaga. Dada terasa sesak seperti ada bongkahan batu besar yang menghimpit dada hingga saya merasa kesulitan bernafas.  

Saya kemudian mengatur nafas perlahan dan dengan derai air mata saya katakan pada kakak saya bahwa kakak dan keluarganya pasti masih hidup. ‘Cari di tempat-tempat pengungsian, pasti mereka ada’. Ujarku pada kakak saya. Suami pun saya minta untuk menyisir seluruh tempat pengungsian yang ada di daerah sekitar Palu dan Sigi. Dalam doa saya tetap panjatkan dan berharap bahwa mereka dalam keadaan selamat dan selalu dalam lindungan Allah SWT.

Dua hari pencarian kakak laki-laki dan suami saya tentang keberadaan mereka namun belum juga membuahkan hasil. Keterbatasan bahan bakar tidak menyurutkan semangat pencarian keluarga yang kami cintai tersebut. Saya masih menyimpan harapan bahwa kakak saya akan baik-baik saja bersama suami, anak dan kedua cucunya.

Ditengah harapan saya yang masih sangat besar atas keselamatan kakak saya, di hari ke tiga dipagi hari tetangga samping rumah menyapa dan mengkonfirmasi kejadian mistis yang dialami semalam. Bahwa di teras rumah saya ada suara ibu menangis dan suara bapak yang mencoba menenangkan si ibu sambil berkata ‘sudah...sudah... jangan menangis lagi kita ikhlaskan saja’. Seperti itu yang didengar tetangga saya.

 Ia kemudian bertanya ‘mama dani (panggilan saya di komplek) mohon maaf tadi malam siapa yang menangis? siapa yang meninggal? ‘(dalam kebingungan sesaat) saya katakan bahwa  tidak ada orang yang datang kerumah apalagi menangis.   

Usai menjawab pertanyaan tetangga tersebut sontak saya teringat dengan kakak saya yang belum ada beritanya sampai hari itu. Hati saya langsung tergerak dan kemudian seperti berfirasat bahwa kakak saya dan anggota keluargannya telah menjadi korban likuifaksi Petobo yang terjadi dalam hitungan detik saja setelah gempa bumi dengan kekuatan 7,4 skala richter tersebut.

Tangis tak terbendung lagi antara percaya tidak percaya, terima tidak terima saya kemudian mengajak kedua putriku untuk membacakan surah Yasin yang kami kirimkan khusus kepada kakak saya dan keluargannya walaupun sajad mereka belum ditemukan. Dalam doa kami panjatkan semoga almarhumah almarhum mendapatkan ampunan atas segala dosa dan khilaf selama di dunia, diterima amal sholehnya, di angkat derajatnya dalam surga serta mendapat predikat meninggal dalam keadaan syahid, Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamiin. Suami yang saat itu juga berada dirumah kemudian  menguatkan dan menenangkan hati saya.

Perasaan hati yang pilu terus merasuki jiwa saya karena keberadaan jasad kakak saya dan keluargannya belum  di ketahui. Dalam suasana mencekam penuh duka tersebut masih terbersit rasa syukur saya karena masih memiliki 3 kakak saya yang tersisa. Melewati hari demi hari bersama dalam kondisi gempa susulan yang tak kunjung usai.

Sementara suami sibuk dengan kegiatan kemanusiaan. Mengevakuasi jenazah korban tsunami, jenazah korban reruntuhan puing bangunan, dan korban yang masih selamat.Mendistribusikan bahan logistik kepada penyintas bencana. Sebagai aparat kepolisian tentu merekalah yang menjadi garda terdepan dalam misi kemanusiaan serta keamanan wilayah yang terdampak bencana khususnya Kota Palu bersama dengan TNI dan tim relawan lainnya.

Kondisi kota Palu dan sekitarnya saat itu masih belum kondusif dari gempa. Getaran demi getaran terus kami rasakan dan membuat hati tidak tenang. Saya dan kedua putriku diungsikan suami  ke rumah kakak no 2 yang alamatnya tidak jauh dari rumah saya. Jaraknya hanya berkisar 2 km saja. Dari lokasi terjadinya likuifaksi Petobo pun hanya berjarak kurang lebih 1 km saja. Allahu Akbar....Allah Maha Besar.

Di hari ke 5 pasca gempa goncangan terus terjadi dan masih terasa kuat. Seluruh keluarga berembuk dan mencari solusi bagaimana supaya bisa keluar dari zona merah tersebut terlebih dahulu. Akhirnya semua keluarga sepakat untuk mengungsi ke Makasar. Sekitar pukul 9 pagi kami kemudian berangkat menuju Kota Makasar dengan menggunakan kendaraan pribadi. Kecuali kakak laki-laki saya. Ia tetap di Biromaru (Sigi) bersama anak dan istrinya karena ingin terus memonitor perkembangan proses kapan evakuasi terhadap korban yang meninggal dunia akibat likuifaksi di Petobo dilaksanakan.

Hari ke 7 pasca gempa, tepatnya hari Jum’at, 5 Oktober 2018, alat berat mulai dikerahkan untuk proses evakuasi korban likuifaksi. Kakak saya menginformasikan proses evakuasi tersebut. Kami yang saat itu sudah berada di Makasar kemudian berdoa semoga jasad kakak dan keluarganya bisa ditemukan.

Subhanallah...benar saja ketika kakak saya menelpon dari Palu mengatakan bahwa jasad kakak, suami, anak perempuan dan kedua cucunya telah ditemukan dengan posisi saling berdekatan saat alat berat mengangkat gundukan lumpur di atasnya yang sedikit mulai mengeras. Bahkan disana terlihat seorang ibu yang sedang merangkul dan melindungi kedua anak laki-laki yang masih kecil yang kemudian diketahui itu adalah jasad kakak perempuan saya.

Tangis histeris saya  kemudian memecah suasana diruang tamu tempat/rumah keluarga tetangga yang tinggal di Makasar. Kakak no 2 saya kemudian meminta untuk bicara dengan kakak di Palu. Saya mendengar pembicaraan kakak saya terkait pengurusan jenazah dan proses pemakamannya. Terdengar bahwa kakak di Palu bersama anak almarhumah yang kebetulan  tinggal di Papua dan khusus datang untuk mencari kedua orang tua, adik dan ponakannya merasa kesulitan untuk memakamkan anggota keluarga karena tidak tersedia kain kafan. Selain itu mereka juga kesulitan mencari orang untuk membantu proses penguburan jenazah.

Dalam kondisi keterbatasan tersebut dari pihak tim evakuasi memberikan kesempatan keluarga untuk memilih apakah jenazah dimakamkan oleh pihak keluarga atau dimakamkan secara masal. Bila dimakamkan oleh pihak keluarga maka jenazah tidak boleh lama dibiarkan sebab dapat menyebarkan penyakit karena kondisi jenazah yang sudah tidak sempurna lagi fisiknya. Dalam situasi tersebut kakak dan anak almarhumah kemudian meminta saran kami dan kemudian diputuskan untuk dikembalikan ke tim evakuasi agar dimakamkan secara masal.

Sedih tentu rasanya disaat terakhir pun kami tidak bisa memakamkan mereka secara layak dengan mamakai kain kafan. Namun apa daya, kondisi saat itu sangat tidak memungkinkan. Satu hal yang kami patut syukuri bahwa jasad saudara kami masih ditemukan dibandingkan dengan banyaknya korban lainnya yang sampai saat ini tidak ditemukan jasadnya.

Dua hari di Makasar membuat suami gelisah. Di satu sisi ia memikirkan nasib anak dan istrinya, di sisi lain ia harus kembali menjalankan tugasnya di Palu. Akhirnya saya dan kedua putriku kembali diungsikan oleh suami ke Ngawi, Jawa Timur. Awalnya kakak saya tidak setuju karena akan berpisah lagi dengan saya sementara perasaan kehilangan akan saudara kandung lainnya belum juga hilang. Tetapi dengan penjelasan suami akhirnya kakak merestui kami untuk mengungsi ke Jawa.

Keesokan harinya saya dan kedua putriku pamit dan memohon restu kakak untuk berangkat ke bandara Sulhan Hasanudin Makasar menuju bandara Juanda Surabaya. Disana kami sudah  dijemput oleh ipar saya yang tinggal di Ngawi. Setelah keberangkatan kami ke Ngawi, kakak pun memutuskan untuk kembali lagi ke Palu. I bulan lamanya kami menenangkan diri di Ngawi, kota kelahiran suamiku sebelum akhirnya saya putuskan kembali ke Palu karena alasan pekerjaan.

Yaa... saat itu pemerintah kota Palu menginstruksikan seluruh PNS yang berada diluar Kota agar segera kembali ke Palu untuk melaksanakan tugasnya kembali. Kota Palu sudah kondusif tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Itulah himbauan/instruksi yang kami terima.

Singkat cerita, saya dan kedua putriku pun kembali ke Palu. Trauma akan peristiwa gempa bumi, tsunami dan likuifaksi masih terus menghantui pikiran saya dan kedua putriku. Kami tidak berani kembali ke rumah. Kami kemudian tinggal di rumah kakak yang berada di jalan Kijang, Palu Selatan.

Selama kurang lebih 2 bulan lamanya kami tinggal di rumah kakak. Hanya sesekali saja saya dan anak-anak mengunjungi rumah kami di komplek perumahan Polda. Tidur tidak nyenyak , makan tidak enak, pikiran tidak tenang bahkan mimpi buruk sering menghantui. Trauma mendalam yang saya rasakan membuat kondisi fisik menurun.

Sampai suatu ketika saya merasa kepala saya seperti mau pecah, jalan sempoyongan, dunia rasanya terbalik. Saya kemudian dibawa ke dokter. Dokter menanyakan keluhan yang saya rasakan. Setelah itu saya diperiksa tekanan darahnya dan ternyata tekanan darah saya naik 160/115. Padahal biasanya tekanan darah saya normal di kisaran 110/80 atau 100/70. Dokter kemudian menyarankan untuk jangan terlalu banyak pikiran, makan harus teratur, dan istirahat yang cukup.  Tak lupa juga saya diberikan sejumlah obat untuk di minum.

Di rumah kemudian saya berpikir bahwa kalau seperti ini terus maka tentu akan membahayakan kondisi fisik saya. Bisa-bisa saya masuk rumah sakit lagi. Saya akhirnya tersadar kembali bahwa peristiwa gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang melanda kotaku hingga merenggut nyawa kakak dan ke empat anggota keluarganya sesungguhnya sudah menjadi qadarullah (takdir Allah) yang tidak bisa kita hindari.

Dengan semakin  mendekatkan diri  kepada Allah SWT dalam sholat dan disetiap sujud saya memohon kepadaNya untuk almarhum dan almarhumah semoga dilapangkan alam kubur mereka dan mendapat tempat yang terbaik disisiNya.

Dan saya juga memohon kepada Allah SWT agar saya diberikan ketenangan hati, kesabaran serta keikhlasan dalam menerima apa yang telah ditakdirkan terjadi dan kemudian menjalani hidup bersama orang-orang terkasih disekitar saya dengan bahagia.  

Dukungan moril dari suami, anak, kakak, ponakan berikan pun akhirnya secara perlahan membantu saya menepis segala perasaan trauma, sedih akan kehilangan anggota keluarga.

Yaa...saya harus kuat. Saya harus bangkit seperti kotaku yang kini telah bangkit dan berbenah kembali menjadi kota yang indah, asri, dan nyaman untuk semua.

Demikian kisahku semoga saudara tidak mengalami apa yang saya rasakan. Dan semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin...

 

Profil Penulis


Bernama asli zulirfan dilahirkan di Biromaru, Kab Sigi 46 tahun silam tepatnya pada tanggal 3 Oktober 1974. Berprofesi sebagai PNS/ guru Bahasa Inggris pada SMPN 4 Palu.

Penulis bertempat tinggal di jalan Tara, Komplek Perumahan Polda Blok A6, desa Kalukubula Kec. Sigi Biromaru, Kab. Sigi Sulawesi Tengah.

Aktifitas Penulis: Menulis di blog (https://zulirfan.blogspot.com),

Medsos: FB (Ifa Zulirfan), Youtube (Ifa Palu), IG ( zulirfanifa)

Email : zulirfan30@guru.smp.belajar.id

No HP/WA : 082197390251

 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

Komentar

  1. Ya Allah, alur cerita mengalir, saya membacanya saja gemetar mengenai betapa dahsyatnya gempa dan tsunami kota Palu, Alhamdulillah keluarga di Palu tetap sehat terus, Aaminn

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trimaksih Pak heri...masih perlu belajar lagi dalam menentukan diksi yang tepat

      Hapus
  2. Great. Semangat untuk terus menulis dimulai dari hal yang paling dekat dengan diri kita. InshaAllah ide mengalir bagai air. Lanjut....mom

    BalasHapus
  3. Sudah baik bunda, terus menulis membuat sejarah dan kenangan. Musibah membuat kita belajar makna kehidupan. Salam sehat sekeluarga bunda zulirfan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trimakasih Prof... trimaksih atas supportnya..

      Hapus
  4. Alhamdulillah, masih diberikan kesempatan untuk berkarya lagi Bu, sukses selalu👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah mam say...ayo kita barengan lagi menulisnya...

      Hapus
  5. Terus berkarya, berbagi dan menginspirasi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trimakasih atas kunjungan dan supportnya P Revi...

      Hapus
  6. Masya Allah...terima kasih sharing pengalamanya bun

    BalasHapus
  7. Ya Allah Bunda..derai airmata saya tak terbendung merasakan kesedihan dan duka yang bunda dan keluarga serta saudara yang rasakan di palu. Tulisan bunda menjadi saksi nyata takdir Allah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bund...saya sendiri terus menangis...saat menulis naskah ini...dan entah kenapa setiap sy baca kembali...sy nangis lagi...trimksh sdh berkunjung bund

      Hapus
  8. Subhanallah, saya menangis membaca tulisan ibu, peristiwa yang ibu tulis saat gempa bumi, persis yang saya alami, ketika pintu rumah terkunci dan kami semua sudah panik ....ya Allah saya tersadar bahwa semua yang terjadi atas kehendaknya...
    Maksih kanda...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bund...semua yg terjadi adalah takdir Allah...kita harus kuat ya...

      Hapus
  9. Kisah nyata yg sangat mengharukan. Semoga menjadi pelajaran buat kita para pembaca

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin ....trimakasih atas kunjungannya Om Jay...

      Hapus
  10. Masya Allah, Allah telah memberikan bunda cobaan yang berat dan berhasil melaluinya dengan takwa. Tulisan ini menginpirasi orang untuk tidak menyerah tetapi berserah kepada Allah. Keren bunda

    BalasHapus
  11. Masyaallah, deskripsi tulisannya lengkap dirangkai secara kronologis membuat saya yang membacanya seakan melihat langsung dan turut merasakan suasana dalam cerita hingga perasaan saya seperti diaduk-aduk sampai di ujung tulisan. Semoga seluruh korban meninggal akibat gempa dahsyat dan likuifaksi di Palu di berikan tempat yang mulia di sisi Allah Swt dan keluarga yang ditinggal diberikan kesabaran, ketabahan, dan kekuatan untuk menerima dan melalui semua ujian sebagaimana keberhasilan penulis dan sebagian besar masyarakat Palu sekitarnya yang mampu bangkit dan menjalani kehidupan yang lebih baik, aamiin ya raball alamin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin Yaa Rabb...trimaksih sdh menguatkan P Tamrin...

      Hapus
  12. Terbayang kembali kenangan itu...di akhir November...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kenangan yang membrrilan ketegaran bagi penyintas

      Hapus
  13. Masya Allah.. ... sistematis, dan sangat menginspirasi untuk bisa menulis......tetaplah menulis dindaku, sahabatku, untuk selalu meninggalkan jejak jemari. Conten tulisannya membuat diriku mengenang lagi peristiwa itu....dirimu dan putrimu telah mengungsi ke Makassar aku pergi mencari siswaku di tenda penyintas dan bertanya tanya sambil teriak kecil" maaf ada siswa SMPN 16 Palu di sini? Keluar nak....ini ada ibu guru!

    BalasHapus
  14. Masya Allah, dirikupun ikut larut dalam tulisan bunda, badanku bergetar dan air mataku tak bisa kubendung seakan peristiwa itu kembali jelas dalam ingatanku, membayangkan detik2 mencekam yang terjadi pada korban, insya Allah semua korban meninggal dalam keadaan Syahid... Ya Allah ampuni kami... Ridhoi langkah kami kami berharap kembali dlm keadaan Husnul khatimah aamiiin... Terimakasih bunda telah mengingatkan hanya ketakwaan yang bisa menghilangkan rasa trauma...

    BalasHapus
  15. Ternyata, ada tempat yang begitu indah disini...meskipun belum menginjakkan kaki disini, dari tulisannya mam Ifa bisa ikut menikmati keindahan tempat ini...thank you so much mam Ifa...😍

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SAJIAN NIKMAT GADO-GADO PELANGI

KEGIATAN SOSIALISASI 7_SRB BERBAGI INOVASI PEMBELAJARAN TERINTEGRASI DENGAN RUMAH BELAJAR PADA MASA PANDEMI