HIJRAH DALAM TAKDIR ALLAH
Hijrah Dalam Takdir
Allah
Oleh: Zulirfan
S.Pd.,M.Pd
Jodoh, Rizki, Maut
merupakan rahasia Allah SWT, Sang Pencipta Alam beserta isinya. Takdir baik dan
buruk itu telah menjadi ketetapan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Tidak
ada satupun manusia dimuka bumi ini yang mampu memprediksi ataupun menentukan jodoh, rizki dan mautnya sebelumnya. Tidak
seorang pun penduduk bumi mengetahui
kelak takdirnya baik atau buruk.
Kapan
takdir seorang manusia itu ditetapkan? Ketika
roh ditiupkan ke tubuhnya saat masih berada dalam kandungan maka sejak itulah
ditentukan takdir yang akan diterimanya kelak. Jodohnya siapa, rizkinya bagaimana dan akhir
hayatnya seperti apa. Baik atau buruk semua itu telah tercatat olehNya. Tak satupun yang terlewatkan bahkan
tertukar.
Dalam
contoh ajal/maut misalnya. Sedikitpun manusia tidak mengetahui kapan ajalnya
tiba dan apa penyebabnya. Ada yang menjemput ajalnya karena sakit, kecelakaan,
tiba-tiba, atau bahkan karena peristiwa bencana alam seperti banjir bandang,
gempa bumi, tsunami, likuifaksi dan
lain-lain.
Sama
halnya yang menimpa keluarga saya dan ribuan orang lainnya yang kehilangan
sanak saudaranya karena peristiwa bencana alam yang teramat dasyat. Gempa bumi
dengan kekuatan 7,4 skala richter yang kemudian menyebabkan, tsunami, dan
likuifaksi yang terjadi pada tanggal 28 September 2018 silam di bumi Tadulako
tercinta. Peristiwa yang telah meluluh lantakkan sebagian besar wilayah di Kota
Palu, Sigi, Donggala dan sebagian wilayah Parigi kabupaten Parimo propinsi
Sulawesi Tengah serta telah merenggut ribuan nyawa.
Doc: inet.detik.com
Awal kisah saya
Jum’at
28 September 2018. Dipagi itu langit tampak cerah sedikitpun tidak ada
tanda-tanda bahwa petangnya akan terjadi gempa bumi yang sangat dasyat yang
menyebabkan tsunami dan likuifaksi. Seperti biasa pagi itu saya berangkat ke
sekolah untuk melaksanakan tugas mengajar. Jadwal pembelajaran hari jum’at
berakhir pukul 11. 25 Wita. Guru-guru sudah kembali ke rumah masing-masing
kecuali saya dan salah seorang teman saya yang masih berada di sekolah. Saya
memang masih bertahan di sekolah ketika itu karena ada laporan yang harus saya selesaikan
berkaitan dengan sarana prasarana sekolah. Yaa... kebetulan saya mendapat tugas
tambahan sebagai wakil kepala sekolah bidang sarana prasarana.
Usai
sholat dhuhur saya melanjutkan pekerjaan saya. Sementara asyik menyelesaikan
laporan tiba-tiba terasa goncangan yang cukup kuat. Saya berteriak ‘Astagfirullah..gempa...gempa...’.
Saya dan teman pun berlari keluar menjauh dari ruangan untuk menghindari
musibah terluka atau semacamnya. Gempa yang kemudian kami ketahui berdasarkan
informasi dari BMKG berkekuatan 5,9 skala richter terjadi pada sekitar pukul
15.00 Wita atau sekitar jam 3 sore waktu
Indonesia bagian tengah. Sore itu memang tampak agak mendung dan berangin. Saya
kemudian memutuskan pulang ke rumah.
Setiba
di rumah saya dapati kedua anak saya sudah berada di rumah. Biasanya kedua anak
saya pulangnya sekitar jam lima atau jam enam petang karena mereka mengikuti
kegiatan ekskul yang cukup padat di sekolah. Anak sulung saya katanya kurang
sehat dan si bungsu tidak ada kegiatan ekskulnya sore itu makanya semua cepat
pulang. Allah SWT seolah telah mengisyaratkan agar kami berkumpul bersama saat
terjadinya gempa bumi.
Menjelang
masuk waktu sholat magrib, kira-kira pukul 5.55 wita saya menanak nasi. Alunan ayat
suci al’ quran terdengar jelas dari pengeras suara masjid sebelum adzan
magrib berkumandang. Saya mengingatkan kedua anak saya untuk mengambil air
wudhu terlebih dahulu sambil menunggu saya menaikkan nasi ke dalam belanga
kukusan. Baru saja saya selesai mengingatkan mereka berwudhu, tiba-tiba suara
gemuruh terdengar disertai goncangan yang luar biasa dasyat dan belum pernah
saya rasakan sebelumnya. Suara barang pecah belah terdengar berjatuhan,
dispenser terpelanting ke lantai bersama galonnya. Rumah terlihat bergerak ke kiri
dan kekanan kemudian bergetar naik turun.
Saya
berteriak sekencang-kenjangnya menyebut nama Allah dan beristigfar sambil
memanggil kedua anak saya untuk keluar dari dalam kamarnya. Kami bertemu di
ruang tengah dan kemudian berlari bersama menuju pintu keluar. Kami sempat
bertabrakan satu sama lain karena goncangan dasyat tersebut. Setiba di depan
pintu kami semakin panik karena ternyata pintunya terkunci. Tangan anak saya
Intan bergetar mencoba membuka pintu, saya berteriak lagi...’ ayo Ntan!!! cepattt
buka kunci pintunya. Iya mama ini saya coba buka tapi susah’. Ya Allah...ampuni
kami, lindungi kami, mudahkan kami untuk keluar ya Allah...astaffirullah al
adzim. Saya dan kedua anak saya terus beristigfar, bertasbih, bertahmid
dan bertakbir sambil menangis karena
ketakutan.
Akhirnya
atas izin Allah SWT pintu rumah terbuka. Kami pun berlari bersama keluar. Baru
sampai di teras rumah saya melihat tiga motor yang terparkir digarasi sudah
terjatuh. Saya dan anak-anak berlari menuju pintu pagar. Ternyata terkunci
pula. Dalam kepanikan yang teramat sangat, bingung bagaimana caranya untuk bisa
keluar tiba-tiba dinding pagar samping rumah rubuh. Alhamdulillah...akhirnya
kami menyelamatkan diri dengan melompat keluar pagar samping.
Di
depan jalan komplek perumahan, para tetangga sudah berkumpul sambil menenangkan
keluarganya masing-masing. Saya dan kedua putriku berpelukan sangat erat. Kedua
putriku menangis sangat histeris. Putri bungsuku kemudian berucap ‘
maa...maafkan saya...maafkan semua kesalahan saya, dosa saya sama mama... ‘.
Dengan lembut saya terus memeluk kedua putriku dan berkata pada bungsuku ‘Iya
nak...mama sayang kalian mama maafkan kalian... ayo nak terus ucapkan
Astagfirullah Al adzim, Subhanallah Walhamdulillah Walaa ilaaha Illallah
Wallahu Akbar’.
Pikiran
saya kemudian teralih ke suami saya. ‘Papa...papa...papamu nak... dimana
sekarang kenapa belum pulang. Yaa... Allah lindungilah suami hamba. Selamatkan
ayah dari kedua putriku dari gempa ini yaa Rabb!!!. Saat kejadian gempa dasyat
tersebut suami saya masih berada di kantornya. Memang sehari-harinya jam pulang
kantor beliau menjelang magrib atau usai sholat magrib. Maklum pekerjaan beliau
sebagai petugas kepolisian syarat dengan kesibukan.
Suasana
sesaat setelah gempa dasyat saat itu terasa sangat berbeda. Suara ayam, anjing,
kucing dan hewan lainnya bagaikan hilang ditelan bumi. Semua hening, angin
berhembus kencang, langit pun tampak gelap kemerahan. Rasanya seperti sudah mau
kiamat. Allah SWT telah memberikan ujian kepada hamba-hambaNya yang Ia
kehendaki. Entahlah apakah peristiwa ini merupakan bentuk ujian atau azab yang
diberikan oleh Allah SWT kepada hambanya yang banyak membuat kedzoliman di muka bumi
ini. Wallahu a’lam bish-shawab!.
Malam
pun tiba Suasana gelap gulita tanpa cahaya lampu. Dalam suasana kegelapan kami
melewatinya dengan guncangan gempa susulan yang terus menerus datang. Hati saya
semakin kalut, memikirkan suami yang belum kembali ke rumah dan belum saya
ketahui keberadaannya. Suara motor sesekali terdengar melintas diarea komplek
perumahan Polda tempat kami tinggal. Berharap bahwa itu adalah suami yang
datang. Jaringan listrik padam, hp lowbat tidak bisa menghubungi suami dan
keluarga lainnya semakin menambah suasana hati sedih.
Terlebih
ketika Pak Made tetangga depan rumah datang dengan kondisi basah kuyup.
Beliau mengatakan bahwa air laut naik.
Tsunami di pantai Talise katanya dan banyak korban terseret gelombang. Beliau
juga seorang polisi yang saat kejadian berada di pantai Talise karena sedang
melakukan pengamanan di acara festival Palu Nomoni. Hati saya pun semakin
gundah gulana. Berbagai doa saya panjatkan agar suami tetap dalam
lindungan-Nya, selamat dari musibah gempa bumi maupun tsunami.
Doc: News.detik.com
Selang
beberapa saat kemudian sekitar pukul delapan lewat, terdengar suara motor
melintas dan bergerak ke arah kami. Suara motornya sangat saya kenali. Benar
saja...dalam keremangan cahaya lampu motor tersebut saya melihat sosok tinggi
tegap turun dari motor, menghampiri dan memanggil kami. ‘ Ma.., Dani.., Intan. Allahu
Akbar... Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamiin... sontak saya mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas perlindunganNya
kepada suami saya. Yang dinanti dan diharap telah kembali dengan selamat. Kami
pun saling berpelukan erat seperti tele tabis dengan diselimuti suasana haru
karena bisa berkumpul bersama.
Malam
itu bersama tetangga dekat rumah, kami menggelar tikar juga menyiapkan selimut
seadanya sebagai pengalas duduk ataupun sekedar merebahkan tubuh untuk
menghilangkan sedikit rasa kantuk yang datang. Namun kami tidak bisa tidur karena
goncangan gempa susulannya masih terus terasa. Suara gemuruh dalam tanah terasa
seperti kita sedang memblender sesuatu. Salah satu tetangga saya sibuk
mengobati kepala mertuanya yang terluka akibat tertindis lemari yang ada
dikamarnya. Akhirnya malam itu kami habiskan dengan berbagi cerita dan saling
menguatkan satu sama lain.
Keesokkan
paginya kami kembali ke rumah masing-masing untuk melihat kondisi rumah
sekaligus mengambil perlengkapan tidur maupun bahan makanan yang bisa di masak
untuk sarapan pagi maupun untuk makan siang dan malam. Alhamdulillah beruntung
stok makanan kami saat itu cukup untuk 3 sampai 4 hari kedepannya. Kondisi
rumah kami pun tidak mengkhawatirkan hanya tergolong rusak ringan saja namun kami belum berani bahkan tidak ingin
tidur dalam rumah. Goncangan yang setiap menit kami rasakan mulai dari kekuatan
kecil bahkan sedang masih terus terjadi. Saya dan kedua putriku menyiapkan
sarapan pagi seadanya nasi dan telur ceplok yang saya masak di teras depan
rumah.
Belum
selesai menyiapkan sarapan, tiba-tiba kakak laki-laki saya datang ke rumah.
Beliau menginformasikan bahwa Kelurahan
Petobo (kampung petobo) hilang. Kakak perempuan tertua dan anggota
keluarganya yang tinggal di Petobo juga belum diketahui keberadaannya. Saya
bingung dan bertanya. “maksudnya hilang bagaimana? Saya tidak mengerti,
kataku”.
Kakak
laki-laki saya menjelaskan kembali bahwa kampung Petobo memang sudah tidak ada
lagi karena terbawa lumpur (likuifaksi), rumah semua terseret dan bahkan
ditelan bumi beserta penghuninya. Yang tersisa hanya beberapa rumah saja yang
tidak dilewati lumpur dan orang-orang yang sempat menyelamatkan diri dari
dasyatnya seretan lumpur tersebut. Kita harus ikhlas menerima apapun nanti yang
terjadi dengan saudara kita. Demikian kata kakak saya.
Doc: Republika
“Astagfirullah al adzim...apa? pekikku” Yaa Allah.... baru saja musibah gempa bumi dan
tsunami yang dirasakan kini saya pun mendengar kalau musibah lumpur berjalan
(likuifaksi) pun terjadi di Petobo. Saat
itu badan saya lemas tak bertenaga. Dada terasa sesak seperti ada bongkahan
batu besar yang menghimpit dada hingga saya merasa kesulitan bernafas.
Saya
kemudian mengatur nafas perlahan dan dengan derai air mata saya katakan pada
kakak saya bahwa kakak dan keluarganya pasti masih hidup. ‘Cari di
tempat-tempat pengungsian, pasti mereka ada’. Ujarku pada kakak saya. Suami pun
saya minta untuk menyisir seluruh tempat pengungsian yang ada di daerah sekitar
Palu dan Sigi. Dalam doa saya tetap panjatkan dan berharap bahwa mereka dalam
keadaan selamat dan selalu dalam lindungan Allah SWT.
Dua
hari pencarian kakak laki-laki dan suami saya tentang keberadaan mereka namun belum
juga membuahkan hasil. Keterbatasan bahan bakar tidak menyurutkan semangat
pencarian keluarga yang kami cintai tersebut. Saya masih menyimpan harapan
bahwa kakak saya akan baik-baik saja bersama suami, anak dan kedua cucunya.
Ditengah
harapan saya yang masih sangat besar atas keselamatan kakak saya, di hari ke
tiga dipagi hari tetangga samping rumah menyapa dan mengkonfirmasi kejadian
mistis yang dialami semalam. Bahwa di teras rumah saya ada suara ibu menangis
dan suara bapak yang mencoba menenangkan si ibu sambil berkata
‘sudah...sudah... jangan menangis lagi kita ikhlaskan saja’. Seperti itu yang
didengar tetangga saya.
Ia kemudian bertanya ‘mama dani (panggilan
saya di komplek) mohon maaf tadi malam siapa yang menangis? siapa yang
meninggal? ‘(dalam kebingungan sesaat) saya katakan bahwa tidak ada orang yang datang kerumah apalagi
menangis.
Usai
menjawab pertanyaan tetangga tersebut sontak saya teringat dengan kakak saya
yang belum ada beritanya sampai hari itu. Hati saya langsung tergerak dan kemudian
seperti berfirasat bahwa kakak saya dan anggota keluargannya telah menjadi
korban likuifaksi Petobo yang terjadi dalam hitungan detik saja setelah gempa
bumi dengan kekuatan 7,4 skala richter tersebut.
Tangis
tak terbendung lagi antara percaya tidak percaya, terima tidak terima saya
kemudian mengajak kedua putriku untuk membacakan surah Yasin yang kami kirimkan
khusus kepada kakak saya dan keluargannya walaupun sajad mereka belum
ditemukan. Dalam doa kami panjatkan semoga almarhumah almarhum mendapatkan
ampunan atas segala dosa dan khilaf selama di dunia, diterima amal sholehnya,
di angkat derajatnya dalam surga serta mendapat predikat meninggal dalam
keadaan syahid, Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamiin. Suami yang saat itu juga berada
dirumah kemudian menguatkan dan
menenangkan hati saya.
Perasaan
hati yang pilu terus merasuki jiwa saya karena keberadaan jasad kakak saya dan
keluargannya belum di ketahui. Dalam
suasana mencekam penuh duka tersebut masih terbersit rasa syukur saya karena masih
memiliki 3 kakak saya yang tersisa. Melewati hari demi hari bersama dalam
kondisi gempa susulan yang tak kunjung usai.
Sementara
suami sibuk dengan kegiatan kemanusiaan. Mengevakuasi jenazah korban tsunami,
jenazah korban reruntuhan puing bangunan, dan korban yang masih selamat.Mendistribusikan
bahan logistik kepada penyintas bencana. Sebagai aparat kepolisian tentu
merekalah yang menjadi garda terdepan dalam misi kemanusiaan serta keamanan
wilayah yang terdampak bencana khususnya Kota Palu bersama dengan TNI dan tim
relawan lainnya.
Kondisi
kota Palu dan sekitarnya saat itu masih belum kondusif dari gempa. Getaran demi
getaran terus kami rasakan dan membuat hati tidak tenang. Saya dan kedua
putriku diungsikan suami ke rumah kakak
no 2 yang alamatnya tidak jauh dari rumah saya. Jaraknya hanya berkisar 2 km
saja. Dari lokasi terjadinya likuifaksi Petobo pun hanya berjarak kurang lebih
1 km saja. Allahu Akbar....Allah Maha Besar.
Di
hari ke 5 pasca gempa goncangan terus terjadi dan masih terasa kuat. Seluruh
keluarga berembuk dan mencari solusi bagaimana supaya bisa keluar dari zona
merah tersebut terlebih dahulu. Akhirnya semua keluarga sepakat untuk mengungsi
ke Makasar. Sekitar pukul 9 pagi kami kemudian berangkat menuju Kota Makasar
dengan menggunakan kendaraan pribadi. Kecuali kakak laki-laki saya. Ia tetap di
Biromaru (Sigi) bersama anak dan istrinya karena ingin terus memonitor
perkembangan proses kapan evakuasi terhadap korban yang meninggal dunia akibat
likuifaksi di Petobo dilaksanakan.
Hari
ke 7 pasca gempa, tepatnya hari Jum’at, 5 Oktober 2018, alat berat mulai
dikerahkan untuk proses evakuasi korban likuifaksi. Kakak saya menginformasikan
proses evakuasi tersebut. Kami yang saat itu sudah berada di Makasar kemudian
berdoa semoga jasad kakak dan keluarganya bisa ditemukan.
Subhanallah...benar
saja ketika kakak saya menelpon dari Palu mengatakan bahwa jasad kakak, suami,
anak perempuan dan kedua cucunya telah ditemukan dengan posisi saling berdekatan
saat alat berat mengangkat gundukan lumpur di atasnya yang sedikit mulai
mengeras. Bahkan disana terlihat seorang ibu yang sedang merangkul dan
melindungi kedua anak laki-laki yang masih kecil yang kemudian diketahui itu
adalah jasad kakak perempuan saya.
Tangis
histeris saya kemudian memecah suasana
diruang tamu tempat/rumah keluarga tetangga yang tinggal di Makasar. Kakak no 2
saya kemudian meminta untuk bicara dengan kakak di Palu. Saya mendengar
pembicaraan kakak saya terkait pengurusan jenazah dan proses pemakamannya.
Terdengar bahwa kakak di Palu bersama anak almarhumah yang kebetulan tinggal di Papua dan khusus datang untuk
mencari kedua orang tua, adik dan ponakannya merasa kesulitan untuk memakamkan
anggota keluarga karena tidak tersedia kain kafan. Selain itu mereka juga kesulitan mencari orang untuk membantu proses penguburan jenazah.
Dalam
kondisi keterbatasan tersebut dari pihak tim evakuasi memberikan kesempatan
keluarga untuk memilih apakah jenazah dimakamkan oleh pihak keluarga atau
dimakamkan secara masal. Bila dimakamkan oleh pihak keluarga maka jenazah tidak
boleh lama dibiarkan sebab dapat menyebarkan penyakit karena kondisi jenazah
yang sudah tidak sempurna lagi fisiknya. Dalam situasi tersebut kakak dan anak
almarhumah kemudian meminta saran kami dan kemudian diputuskan untuk
dikembalikan ke tim evakuasi agar dimakamkan secara masal.
Sedih
tentu rasanya disaat terakhir pun kami tidak bisa memakamkan mereka secara
layak dengan mamakai kain kafan. Namun apa daya, kondisi saat itu sangat tidak
memungkinkan. Satu hal yang kami patut syukuri bahwa jasad saudara kami masih
ditemukan dibandingkan dengan banyaknya korban lainnya yang sampai saat ini
tidak ditemukan jasadnya.
Dua
hari di Makasar membuat suami gelisah. Di satu sisi ia memikirkan nasib anak
dan istrinya, di sisi lain ia harus kembali menjalankan tugasnya di Palu. Akhirnya
saya dan kedua putriku kembali diungsikan oleh suami ke Ngawi, Jawa Timur.
Awalnya kakak saya tidak setuju karena akan berpisah lagi dengan saya sementara
perasaan kehilangan akan saudara kandung lainnya belum juga hilang. Tetapi
dengan penjelasan suami akhirnya kakak merestui kami untuk mengungsi ke Jawa.
Keesokan
harinya saya dan kedua putriku pamit dan memohon restu kakak untuk berangkat ke
bandara Sulhan Hasanudin Makasar menuju bandara Juanda Surabaya. Disana kami
sudah dijemput oleh ipar saya yang tinggal di Ngawi. Setelah keberangkatan kami
ke Ngawi, kakak pun memutuskan untuk kembali lagi ke Palu. I bulan lamanya kami
menenangkan diri di Ngawi, kota kelahiran suamiku sebelum akhirnya saya
putuskan kembali ke Palu karena alasan pekerjaan.
Yaa...
saat itu pemerintah kota Palu menginstruksikan seluruh PNS yang berada diluar
Kota agar segera kembali ke Palu untuk melaksanakan tugasnya kembali. Kota Palu
sudah kondusif tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Itulah
himbauan/instruksi yang kami terima.
Singkat
cerita, saya dan kedua putriku pun kembali ke Palu. Trauma akan peristiwa gempa
bumi, tsunami dan likuifaksi masih terus menghantui pikiran saya dan kedua
putriku. Kami tidak berani kembali ke rumah. Kami kemudian tinggal di rumah
kakak yang berada di jalan Kijang, Palu Selatan.
Selama
kurang lebih 2 bulan lamanya kami tinggal di rumah kakak. Hanya sesekali saja
saya dan anak-anak mengunjungi rumah kami di komplek perumahan Polda. Tidur
tidak nyenyak , makan tidak enak, pikiran tidak tenang bahkan mimpi buruk
sering menghantui. Trauma mendalam yang saya rasakan membuat kondisi fisik
menurun.
Sampai
suatu ketika saya merasa kepala saya seperti mau pecah, jalan sempoyongan,
dunia rasanya terbalik. Saya kemudian dibawa ke dokter. Dokter menanyakan
keluhan yang saya rasakan. Setelah itu saya diperiksa tekanan darahnya dan ternyata
tekanan darah saya naik 160/115. Padahal biasanya tekanan darah saya normal di
kisaran 110/80 atau 100/70. Dokter kemudian menyarankan untuk jangan terlalu
banyak pikiran, makan harus teratur, dan istirahat yang cukup. Tak lupa juga saya diberikan sejumlah obat
untuk di minum.
Di
rumah kemudian saya berpikir bahwa kalau seperti ini terus maka tentu akan
membahayakan kondisi fisik saya. Bisa-bisa saya masuk rumah sakit lagi. Saya akhirnya
tersadar kembali bahwa peristiwa gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang
melanda kotaku hingga merenggut nyawa kakak dan ke empat anggota keluarganya sesungguhnya
sudah menjadi qadarullah (takdir Allah) yang tidak bisa kita hindari.
Dengan
semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam sholat dan disetiap
sujud saya memohon kepadaNya untuk almarhum dan almarhumah semoga dilapangkan
alam kubur mereka dan mendapat tempat yang terbaik disisiNya.
Dan
saya juga memohon kepada Allah SWT agar saya diberikan ketenangan hati,
kesabaran serta keikhlasan dalam menerima apa yang telah ditakdirkan terjadi
dan kemudian menjalani hidup bersama orang-orang terkasih disekitar saya dengan
bahagia.
Dukungan
moril dari suami, anak, kakak, ponakan berikan pun akhirnya secara perlahan membantu
saya menepis segala perasaan trauma, sedih akan kehilangan anggota keluarga.
Yaa...saya
harus kuat. Saya harus bangkit seperti kotaku yang kini telah bangkit dan
berbenah kembali menjadi kota yang indah, asri, dan nyaman untuk semua.
Demikian
kisahku semoga saudara tidak mengalami apa yang saya rasakan. Dan semoga kita
semua selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin...
Profil
Penulis
Bernama
asli zulirfan dilahirkan di Biromaru, Kab Sigi 46 tahun silam tepatnya
pada tanggal 3 Oktober 1974. Berprofesi sebagai PNS/ guru Bahasa Inggris pada
SMPN 4 Palu.
Penulis bertempat tinggal di jalan Tara, Komplek
Perumahan Polda Blok A6, desa Kalukubula Kec. Sigi Biromaru, Kab. Sigi Sulawesi
Tengah.
Aktifitas Penulis: Menulis di blog (https://zulirfan.blogspot.com),
Medsos: FB (Ifa Zulirfan), Youtube (Ifa Palu), IG ( zulirfanifa)
Email : zulirfan30@guru.smp.belajar.id
No HP/WA : 082197390251
Ya Allah, alur cerita mengalir, saya membacanya saja gemetar mengenai betapa dahsyatnya gempa dan tsunami kota Palu, Alhamdulillah keluarga di Palu tetap sehat terus, Aaminn
BalasHapusTrimaksih Pak heri...masih perlu belajar lagi dalam menentukan diksi yang tepat
HapusGreat. Semangat untuk terus menulis dimulai dari hal yang paling dekat dengan diri kita. InshaAllah ide mengalir bagai air. Lanjut....mom
BalasHapusTrimakasih Mam Tuti atas supportnya...
HapusSudah baik bunda, terus menulis membuat sejarah dan kenangan. Musibah membuat kita belajar makna kehidupan. Salam sehat sekeluarga bunda zulirfan
BalasHapusTrimakasih Prof... trimaksih atas supportnya..
HapusAlhamdulillah, masih diberikan kesempatan untuk berkarya lagi Bu, sukses selalu👍
BalasHapusAlhamdulillah mam say...ayo kita barengan lagi menulisnya...
HapusTerus berkarya, berbagi dan menginspirasi
BalasHapusTrimakasih atas kunjungan dan supportnya P Revi...
HapusMasya Allah...terima kasih sharing pengalamanya bun
BalasHapusSama2 ...trimakasih atas kunjungannya...
HapusYa Allah Bunda..derai airmata saya tak terbendung merasakan kesedihan dan duka yang bunda dan keluarga serta saudara yang rasakan di palu. Tulisan bunda menjadi saksi nyata takdir Allah
BalasHapusIya bund...saya sendiri terus menangis...saat menulis naskah ini...dan entah kenapa setiap sy baca kembali...sy nangis lagi...trimksh sdh berkunjung bund
HapusSubhanallah, saya menangis membaca tulisan ibu, peristiwa yang ibu tulis saat gempa bumi, persis yang saya alami, ketika pintu rumah terkunci dan kami semua sudah panik ....ya Allah saya tersadar bahwa semua yang terjadi atas kehendaknya...
BalasHapusMaksih kanda...
Iya bund...semua yg terjadi adalah takdir Allah...kita harus kuat ya...
HapusKisah nyata yg sangat mengharukan. Semoga menjadi pelajaran buat kita para pembaca
BalasHapusAamiin ....trimakasih atas kunjungannya Om Jay...
HapusMasya Allah, Allah telah memberikan bunda cobaan yang berat dan berhasil melaluinya dengan takwa. Tulisan ini menginpirasi orang untuk tidak menyerah tetapi berserah kepada Allah. Keren bunda
BalasHapusAamiin...trimakasih bun Sugi....
HapusMasyaallah, deskripsi tulisannya lengkap dirangkai secara kronologis membuat saya yang membacanya seakan melihat langsung dan turut merasakan suasana dalam cerita hingga perasaan saya seperti diaduk-aduk sampai di ujung tulisan. Semoga seluruh korban meninggal akibat gempa dahsyat dan likuifaksi di Palu di berikan tempat yang mulia di sisi Allah Swt dan keluarga yang ditinggal diberikan kesabaran, ketabahan, dan kekuatan untuk menerima dan melalui semua ujian sebagaimana keberhasilan penulis dan sebagian besar masyarakat Palu sekitarnya yang mampu bangkit dan menjalani kehidupan yang lebih baik, aamiin ya raball alamin.
BalasHapusAamiin Yaa Rabb...trimaksih sdh menguatkan P Tamrin...
HapusTerbayang kembali kenangan itu...di akhir November...
BalasHapusKenangan yang membrrilan ketegaran bagi penyintas
HapusMasya Allah.. ... sistematis, dan sangat menginspirasi untuk bisa menulis......tetaplah menulis dindaku, sahabatku, untuk selalu meninggalkan jejak jemari. Conten tulisannya membuat diriku mengenang lagi peristiwa itu....dirimu dan putrimu telah mengungsi ke Makassar aku pergi mencari siswaku di tenda penyintas dan bertanya tanya sambil teriak kecil" maaf ada siswa SMPN 16 Palu di sini? Keluar nak....ini ada ibu guru!
BalasHapus😭🙏🙏🙏🙏
HapusMasya Allah, dirikupun ikut larut dalam tulisan bunda, badanku bergetar dan air mataku tak bisa kubendung seakan peristiwa itu kembali jelas dalam ingatanku, membayangkan detik2 mencekam yang terjadi pada korban, insya Allah semua korban meninggal dalam keadaan Syahid... Ya Allah ampuni kami... Ridhoi langkah kami kami berharap kembali dlm keadaan Husnul khatimah aamiiin... Terimakasih bunda telah mengingatkan hanya ketakwaan yang bisa menghilangkan rasa trauma...
BalasHapusAamiin Yaa Rabb...🤲🤲🤲
HapusTernyata, ada tempat yang begitu indah disini...meskipun belum menginjakkan kaki disini, dari tulisannya mam Ifa bisa ikut menikmati keindahan tempat ini...thank you so much mam Ifa...😍
BalasHapus